Rabu, 27 November 2013

Khitanan di Era Turki Utsmani

Ritual sunatan atau khitanan selalu ditemui di negara-negara mayoritas berpenduduk Muslim atau negara-negara Islam. Meskipun dipandang termasuk tradisi kuno yang dilakukan sejak zaman Nabi Ibrahim AS, tapi ritual ini menjadi kewajiban bagi setiap pria Muslim yang beranjak balig. Meskipun tak tersurat dalam Alquran, tradisi memotong kulup di alat genital pria ini punya kekhasan masing-masing di tiap wilayah negara Islam.

Kali ini ahli budaya Timur Tengah Prof Nil Sari membahas tradisi sunat di Kerajaan Turki Utsmani. Tulisannya juga pernah dibahas dalam event 39th Annual International Congress of the British Association of Paediatric Surgeons pada 22-24 Juli 1992 di Leeds, Inggris. Pembahasannya tak hanya seputar tata cara pelaksanaan sunat, tapi juga disertai dampak sosial ekonomi pada saat tradisi sunat dilakukan.



Sumber utama menapaki jejak ritual sunat di Turki adalah karya mutakhir bidang pembedahan, Jarrahiya Ilhaniye. Buku karya Sabuncuoglu Shahinshahname ini ditulis saat tahta kekuasaan Turki digenggam Sultan Murat III. Di dalamnya mencatat berbagai kejadian penting yang dilalui saat masa perkembangan putra kerajaan pada 1582, Mehmet dan Surnames.

Kisah terkait ritual sunat Surname-i Vehbi banyak diceritakan di sini. Lalu, menyusul kisah empat putra kerajaan Sultan Ahmed III, yakni Pangeran Suleyman, Mehmet, Mustafa, dan Beyazid pada 1720. Penelusuran penulis sungguh serius. Bahkan, bagian area kerajaan yang tertutup untuk umum, seperti Topkapi dan Dolmabahce berhasil didokumentasikan. Di kedua tempat inilah ritual sunat putra Kerajaan Turki Utsmani selalu berlangsung.

Hasil penelitian menyebutkan pula, setelah abad ke-15, seluruh ritual sunat dilakukan di tempat tersebut. Kecuali sekali di tahun 1675 yang diadakan di Istanbul. Area kerajaan yang identik dengan ritual sunat selalu dilokalisasi secara khusus. Beberapa tempat yang terkenal seperti Istana Topkapi, Kagithane, Sultanahmed Square, Golden Horn, Istana Aynalikavak, dan Istana Dolmabahce.

Hakikatnya, ritual sunat ala pangeran Turki ini dikenal dengan sebutan "sur-i hümayun". Biasanya setelah acara utama dilaksanakan kemudian dilanjutkan pesta perayaan selama 10 hari hingga 15 hari. Beberapa di antaranya bahkan mengadakan pesta yang berlangsung selama 50 hari hingga 55 hari.

Selain sang putra kerajaan yang menjalani sunat, bersamaan itu pula sekitar 3.000 hingga 10 ribu anak laki-laki juga disunat massal selama pelaksanaan pesta. Mereka berasal dari kalangan warga miskin setempat. Setelah ritual kelar, pihak kerajaan menghadiahkan baju, koin emas, celana dalam, dan mainan bagi mereka. Di akhir masa pesta, barulah ahli sunat melakukan ritual bagi sang pangeran.

Menjalani pingitan
Sebelumnya sang pangeran harus menjalani pingitan. Dia ditempatkan di suatu ruangan khusus dengan didampingi beberapa orang kepercayaan istana. Hanya orang-orang tertentu seperti ibu dan saudara-saudari mereka yang boleh masuk ke dalam kamar pangeran. Usai ritual, si ahli sunat pun dihadiahi barang-barang berharga dan koin emas.

Selama masa ritual berlangsung, warga sipil pun dipersilakan berpartisipasi di istana. Biasanya pihak istana mendirikan tenda besar yang ditutupi karpet bagi warga yang datang. Sultan dan warganya pun bisa berbaur tanpa sekat menikmati hiburan serta makanan yang tersaji.

Sementara itu, suasana ritual sunat di zaman Turki Ustmani juga kental dengan berbagai kegiatan. Di antaranya ada acara berburu, lomba olahraga, kembang api, pertunjukan drama, dan lagu-lagu. Kesemuanya menggambarkan kehidupan sehari-hari di lingkungan kerajaan.

Berbagai aktivitas tadi juga merangsang kreativitas warga kerajaan. Mereka menampilkan beragam kemampuan serta berparade di hadapan Sultan serta para penggawanya. Ratusan orang berbaris menikmati karnaval ini. Para tentara dan pasukan berkuda (kavaleri) turut memeriahkan dengan tampilan adegan berperang. Keramaian itu bertambah dengan pertunjukan kembang api serta pembacaan puisi dari para seniman ternama.

Parade karnaval menjadi titik sentral rangkaian acara sunatan ala Turki Utsmani. Para penampil mengenakan pakaian khusus berjulukan 'nahil' dalam berbagai ukuran. Bentuknya bak pepohonan yang dihiasi gambar-gambar hewan, buah, bunga, dan benda-benda berkilau.

Nahil rupanya menjadi semacam simbol kekuatan dan kekuasaan sultan. Ukurannya bervariasi dengan tinggi hingga 15 meter dan lebarnya mencapai enam meter. Sepanjang parade berlangsung, terlihat taman, hewan, dan kolam tiruan terbuat dari gula-gula. Nantinya warga bisa mencomot dan menikmatinya seusai acara.

Seusai menjalani sunat, kemeriahan upacara sang putra kerajaan, Surname, diabadikan dalam kumpulan karya sastra. Di dalamnya ada puisi dan prosa yang hanya bisa ditemui di masa kekhalifahan Turki Utsmani.

Tema tulisannya beragam, mulai dari suasana hiburan yang berlangsung siang hingga malam. Lalu, digambarkan pula kemampuan warga yang mengikuti berbagai perlombaan, hadiah-hadiah bagi para pemenang, meja-meja sajian, hingga hadiah-hadiah yang dipersembahkan bagi sang sultan.

Para pelukis kenamaan di masa itu pun turut mengabadikan kemeriahan pesta Surname-i Vehbi. Salah satunya juga berhasil memotret secara utuh ritual sunat keempat putra Sultan Ahmed III. Karya milik pelukis kenamaan Turki di abad ke-18, Levni telah dibukukan. Di dalamnya terdapat 137 lukisan miniatur kehidupan serta budaya orang Turki di Istanbul masa itu.

Sumber tentang kebudayaan Turki lainnya didapati dalam karya Shahinshahname. Buku yang ditulis dalam bahasa Persia ini merekam berbagai kejadian penting di masa pemerintahan Sultan Murat III. Termasuk pesta perayaan sunat Pangeran Mehmed pada tahun 1582. muslimheritage, ed: asep nur zaman

Ragam Teknik Memotong Kulup

Buku karya ahli bedah Turki, Serafeddin Sabuncuoglu bertajuk Jarrahiya Ilhaniye (Ilmu Bedah Kerajaan) ditulis pada 1465. Terjemahannya dilakukan penerbit Al-Tasrif oleh Zahravi. Manfaat buku ini bisa memberi kontribusi bagi pengembangan ilmu bedah. Pasalnya, disebutkan detail teknis pelaksanaan bedah sunat dan beragam peralatan yang digunakan. Kopian karya tersebut kini hanya tersisa tiga buah. Salah satunya bisa ditemukan di Perpustakaan Fatih Millet, Istanbul, Turki.

Sabuncuoglu secara khusus menggambarkan peralatan untuk khitanan secara lengkap. Dia menyebutkan ada gunting khusus denga ujungnya sedikit melengkung untuk melepas kulup alat genital. Dia juga merekomendasikan dua hal yang harus diperhatikan selama pelaksanaan sunat.
"Ahli bedah sunat harus memotong kulit tipis di antara ujung lipatan alat genital," jelasnya. Cara tersebut diyakini bisa menghindari pendarahan berlebih serta biji kelenjar alat genital tidak terluka.

Selama pelaksanaan sunat, si ahli bedah diwajibkan menyediakan gumpalan kapas, tampon, dan pasien masih berpakaian lengkap. Untuk mempercepat kesembuhan pasien sunat, disediakan labu kering atau tepung putih sebagai pengering luka. Sebagai ramuan jamunya, telur kocok yang dimasak bersama air serta minyak atsiri bunga mawar dipercaya mempercepat penyembuhan. Luka bekas pembedahan pun dirawat baik-baik dengan cara dibungkus secarik kain bersih hingga kondisinya membaik.

Sabuncuoglu juga membahas penanganan alternatif saat kondisi darurat. Jika kulupnya dalam keadaan licin dan tak bisa ditarik selama operasi, dia menyarankan pemakaian alat bantu seperti catut. Bila belum berhasil, cara lainnya dikelupas atau ditarik dengan tangan, lantaran sifat kulup seperti kulit ari yang bisa mengelupas sendiri jika ditarik beberapa ujungnya.

Namun, dia meminta ahli sunat berhati-hati agar tak sampai melukai ujung alat genital pria. Tapi, jika telanjur terpotong, lukanya harus segera dibubuhi bubuk untuk regenerasi tumbuh daging. Beberapa hari kemudian, daging yang tercuil akan tumbuh seperti sedia kala.

Dari rincian di atas, pelaksanaan serta perayaan sunat di masa Turki Utsmani tak sekadar upacara tradisional biasa. Sejatinya, ada nilai sosial yang bisa dipetik. Sepanjang perayaan seluruh warga dari berbagai jenjang tingkat sosial dan profesi menyatu dalam kegembiraan.

Mereka juga menyumbang keberagaman budaya Turki dalam sebentuk karya sastra bersama di tiap periode perayaan sunat pangeran. Perkembangan ini memperkaya khazanah seni, musik, olahraga, dan keilmuan Turki selanjutnya.

Oleh: Indah Wulandari

Sumber: Republika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar